Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memperingatkan umatnya akan fitnah harta yang akan menimpa mereka. Bukanlah kefakiran yang beliau takutkan, namun sebaliknya beliau justru khawatir jika fitnah harta duniawi menimpa umatnya sehingga melalaikan mereka dari urusan akhirat.
dalam hadist riwayat Bukhari beliau bersabda,
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli darimana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.”
Ibnu At Tiin mengatakan, “Sabda beliau ini merupakan peringatan terhadap fitnah harta sekaligus salah satu bukti kenabian beliau, karena memberitakan sesuatu yang tidak terjadi di masa beliau. Segi celaan dari hadits ini adalah penyamaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap dua perkara yaitu perkara halal dan haram, jika tidak demikian, tentunya memperoleh harta dari jalan yang halal tidaklah tercela. Wallahu a’lam.”
Kenyataan pun membenarkan apa yang beliau sabdakan tadi, bukankah tidak sedikit kaum muslimin yang terfitnah dengan harta sehingga melegalkan segala cara demi mendapatkan kenikmatan duniawi yang mereka inginkan. Salah satu bukti adalah maraknya praktek ribawi yang dilakukan oleh komunitas muslim, lagi-lagi alasannya berujung pangkal pada ketamakan terhadap dunia.
permasalahan riba inilah yang akan kami bahas pada kesempatan kali ini. Hal ini mengingat betapa pentingnya masalah ini. Kaum muslimin perlu mengetahui hakikat riba serta keburukan yang terkandung di dalamnya sehingga dapat membentengi dan tidak menjerumuskan diri ke dalam berbagai transaksi ribawi.
Secara etimologi atau bahasa riba berarti tambahan, baik yang terdapat pada sesuatu atau tambahan tersebut sebagai ganti terhadap sesuatu itu, seperti menukar satu dirham dengan dua dirham. Lafadz ini juga digunakan atas segala bentuk jual beli yang diharamkan.
Sedangkan secara istilah atau terminologi, riba berarti adanya tambahan dalam suatu barang yang khusus dan istilah ini digunakan pada dua bentuk riba, yaitu riba fadl dan riba nasiah.
Adapun Maksud tambahan secara khusus ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at Islam, baik diperoleh dengan cara penjualan, atau penukaran atau peminjaman yang berkenaan dengan benda riba.”
Adapun mengenai Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba, adalah dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan qiyas.
Dalil dari Al-Qur’an, Alloh ta’ala berfirman di Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275,
Yang artinya, Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Alloh Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Alloh. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Kemudian Dalil dari As-Sunnah:
terdapat dalam hadist Riwayat Muslim yang berbunyi “Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba dan dua orang saksinya. Kedudukan mereka itu semuanya sama.”
sementara itu secara ijma’ Kaum muslimin pun telah sepakat untuk mengharamkannya dan meyakini bahwa hal tersebut termasuk dosa besar.
Di sisi lain, riba merupakan salah satu bentuk kezhaliman sedangkan keadilan yang terkandung dalam syari’at islam yang adil tentunya mengharamkan kezhaliman.
Lantas bagaimana Jika ada yang meniupkan angin syubhat dengan berkata,
“Bagaimana bisa transaksi ribawi dikatakan sebagai bentuk kezhaliman padahal mereka yang berhutang, ridha terhadap bentuk muamalah ini?”
Maka jawabannya adalah sebagai berikut:
Pertama, sesungguhnya bentuk kezhaliman dalam bentuk muamalah ribawi sangat nyata, yaitu mengambil harta milik orang lain secara batil. Karena sesungguhnya kewajiban bagi orang yang menghutangi adalah memberikan kelonggaran dan tambahan waktu bagi pihak yang berhutang tatkala kesulitan untuk melunasi hutangnya . Apabila terdapat tambahan dalam transaksi tersebut lalu diambil, maka hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan mengambil harta orang lain tanpa hak. Yang patut diperhatikan pula, bahwa seluruh hamba di bawah aturan yang telah ditetapkan Alloh, mereka tidak boleh ridha terhadap sesuatu yang tidak diridhai oleh Alloh. Oleh karenanya, ridha dari pihak yang berhutang terhadap transaksi ribawi tidak dapat dijadikan alasan untuk melegalkan praktek ribawi.
Kedua, jika ditilik lebih jauh, sebenarnya pihak yang berhutang tidak ridha terhadap transaksi tersebut sehingga statusnya layaknya orang yang tengah dipaksa, karena dirinya takut kepada pihak yang menghutangi apabila tidak menuruti dan mengikuti bentuk mu’amalah ini, mereka akan memenjarakan dan melukai dirinya atau menghalanginya dari bentuk mu’amalah yang lain. Maka secara lisan (dirinya) menyatakan ridha, namun sebenarnya dirinya tidaklah ridha, karena seorang yang berakal tentunya tidak akan ridha hutangnya dinaikkan tanpa ada manfaat yang dia peroleh.
Demikianlah sedikit bahasan kita mengenai Riba, maka sudah Selayaknya bagi seorang muslim untuk taat dan patuh tatkala Alloh dan rasul-Nya melarang manusia dari sesuatu. Bukanlah sifat seorang muslim, jika berpaling dan memilih untuk menuruti apa yang diinginkan oleh nafsunya ketika berhadapan dengan larangan Rabb-nya atau rasul-Nya .
Dan Tidak diragukan lagi bahwasanya riba memiliki bahaya yang sangat besar dan dampak yang sangat merugikan sekaligus sulit untuk dilenyapkan. Tentunya tatkala Islam memerintahkan umatnya untuk menjauhi riba pastilah disana terkandung suatu hikmah, sebab dinul Islam tidaklah memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu melainkan disana terkandung sesuatu yang dapat menghantarkannya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Demikian pula sebaliknya, bila syari’at ini melarang akan sesuatu, tentulah sesuatu tersebut mengandung kerusakan dan berbagai keburukan yang dapat menghantarkan manusia kepada kerugian di dunia dan akhirat. Wallahu’alam…..
Syari’at islam tidak memerintahkan kepada manusia kecuali pada sesuatu yang membawa kepada kebahagian dan kemuliannya didunia dan akherat dan hanya melarang dari sesuatu yang membawa kesengsaraan dan kerugian didunia dan akherat.
Demikian juga larangan riba dikarenakan memiliki implikasi buruk dan bahaya bagi manusia, diantaranya:
Berbahaya Bagi Akhlak dan Kejiwaan Manusia
Bila melihat kepada aturan dan sistem riba didapatkan hal itu menyelisihi akhlak yang luhur dan menghancurkan karekteristik pembentukan masyarakat islam. Sistem ini mencabut dari hati seseorang perasaan sayang dan rahmat terhadap saudaranya. Lihatlah kreditor atau pemilik harta senantiasa menunggu dan mencari-cari serta berharap kesusahan menimpa orang lain sehingga dapat mengambil hutang darinya. Tentunya hal ini menampakkan kekerasan tidak adanya rasa sayang dan penyembahan terhadap harta. Hingga tampak sekali Muraabi alias pemberi pinjaman ribawi seakan-akan melepas pakaian kemanusiaannya, sikap persaudaraan dan kerja sama saling tolong menolong.
Bahaya dalam Kemasyarakatan dan Sosial
Riba memiliki implikasi buruk terhadap sosial kemasyarakatan, karena masyarakat yang bermuamalah dengan riba tidak akan terjadi adanya saling bantu-membantu dan seandainya adapun karena berharap sesuatu dibaliknya sehingga kalangan orang kaya akan berlawanan dan menganiaya yang tidak punya.
Kemudian dapat menumbuhkan kedengkian dan kebencian di masing-masing individu masyarakat. Demikian juga menjadi sebab tersebarnya kejahatan dan penyakit jiwa. Hal ini disebabkan karena individu masyarakat yang bermuamalah dengan riba bermuamalah dengan sistem menang sendiri dan tidak membantu yang lainnya kecuali dengan imbalan keuntungan tertentu, sehingga kesulitan dan kesempitan orang lain menjadi kesempatan emas dan peluang bagi yang kaya untuk mengembangkan hartanya dan mengambil manfaat sesuai hitungannya. Tentunya ini akan memutus dan menghilangkan persaudaraan dan sifat gotong-royong dan menimbulkan kebencian dan permusuhan diantara mereka.
Bahaya Terhadap Perekonomian
Krisis ekonomi yang menimpa dunia saat ini salah satu sebabnya adalah adanya hutang-hutang riba yang berlipat-lipat pada banyak perusahaan besar dan kecil. Lalu banyak Negara modern mengetahui hal itu sehingga mereka membatasi persentase bunga ribawi. Namun hal itu tidak menghapus bahaya riba.
Sudah dimaklumi bahwa maslahat dunia ini tidak akan teratur dan baik kecuali –setelah izin Alloh- dengan perniagaan, keahlian, industri dan pengembangan harta dalam proyek-proyek umum yang bermanfaat, karena dengan demikian harta akan keluar dari pemiliknya dan berputar. Dengan berputarnya harta tersebut maka sejumlah umat ini dapat mengambil manfaat, sehingga terwujudlah kemakmuran. Padahal Muraabi duduk dan tidak melakukan usaha mengembangkan fungsi hartanya untuk kemanfaatan orang lain.
Riba juga menjadi sarana kolonial alias penjajahan. Telah dimaklumi bahwa perang ekonomi dibangun di atas muamalah riba. Cara pembuka yang efektif untuk penjajahan yang membuat runtuh banyak Negara timur adalah dengan riba. Ketika Pemerintah Negara timur berhutang dengan riba dan membuka pintu bagi para muraabi asing maka tidak lama kemudian dalam hitungan tahun tidak terasa kekayaan mereka telah berpindah dari tangan warga Negaranya ke tangan orang-orang asing tersebut, hingga ketika pemerintah tersebut sadar dan ingin melepas diri dan hartanya, maka orang-orang asing tersebut meminta campur tangan negaranya dengan nama menjaga hak dan kepentingannya.
Melihat bahaya dan implikasi buruk riba ini, maka sudah menjadi satu kewajiban bagi kita setelah mengetahui apa itu Riba dan bahayanya, mengenal pula jenis nya agar tidak terjerumus pada praktek–praktek muamalah ribawi tersebut.
Jenis Riba menurut Para ulama terbagi mejadi 2, yaitu:
Pertama, Riba Jahiliyah atau Riba Al Qard, maksudnya adalah pertambahan dalam hutang sebagai imbalan tempo pembayaran, baik disyaratkan ketika jatuh tempo pembayaran atau di awal tempo pembayaran. Inilah riba yang pertama kali diharamkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya disurat Al-Baqoroh ayat 275,
Artinya: “Orang-orang yang mengambil riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata dapat, Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mengambil riba, Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan; dan urusannya terserah kepada Alloh. orang yang kembali mengambil riba, Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Riba ini juga yang disabdakan Rosululloh Shallallahu ‘alahi wasallam sebagaimana terdapat dalam Hadits Riwayat Muslim, “Riba jahiliyah dihapus dan awal riba yang dihapus adalah riba Al Abas bin Abdil mutholib, maka sekarang seluruhnya dihapus.”
Demikianlah Alloh dan Rosul-Nya mengharamkannya karena berisi kezaliman dan memakan harta orang lain dengan batil, yaitu tambahan yang diambil orang yang berpiutang dari yang berhutang.
Riba pada masa jahiliyah ini memiliki beberapa bentuk aplikatif diantaranya adalah:
Bentuk Pertama: Riba pinjaman
Maksudnya adalah Riba yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyyah yaitu “Tangguhkanlah hutangku aku akan menambahnya.”
Misalnya A memiliki hutang terhadap B. Ketika tiba waktu pembayaran si A tidak mampu melunasinya. Akhirnya si A berkata: “Tangguhkanlah hutangku aku akan memberikan tambahan.” atau: perlambatlah dan tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah hutang yang akan kubayar. Adapun Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan hutang atau bila berupa binatang dengan penambahan umur binatang. Kalau yang dihutangkan adalah binatang ternak, seperti unta, sapi dan kambing, dibayar nanti dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian seterusnya.
Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan syarat harus dibayar dengan bunganya. Hutang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran.
Dalam kitab Ahkaamul Qur’aan Al-Jashash berkata: “Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama.”
Di lain kesempatan, beliau menjelaskan: “Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyyah adalah berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka Alloh menjelaskan kebatilannya dan mengharamkannya.”
Bentuk ketiga: Pinjaman Berjangka dan Berbunga dengan Syarat Dibayar Perbulan atau dewasa ini lebih dikenal dengan kredit bulanan
Dalam kitab Tafsir Ar-Raazi, Fakhruddin Ar-Razi menyatakan “riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyyah adalah kebiasaan yang sudah dikenal luas dan populer di masa jahiliyyah. Yakni bahwa mereka biasa mengeluarkan uang agar mendapatkan sejumlah uang tertentu pada setiap bulannya, sementara modalnya tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta kepada orang-orang yang berhutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah jumlah yang harus dibayar. Itulah yang disebut dengan Riba nasii-ah.”
Demikianlah mengenai satu jenis Riba yaitu Riba jahiliyah atau Riba Qord alias riba hutang dengan berbagai bentuknya,
Adapun Jenis Riba yang Kedua adalah Riba jual beli. Yaitu riba yang terdapat pada penjualan komoditi. Komoditi riba yang disebutkan dalam nash ada enam: Emas, perak, gandum, kurma, garam dan jewawut.
Nah Sahabat Blogger, rupanya sampai disini pembahasan kita.Dan nantikan ulasan kita masih mengenai riba di Artikel berikutnya, Wallahu’alam…..
dalam hadist riwayat Bukhari beliau bersabda,
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli darimana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.”
Ibnu At Tiin mengatakan, “Sabda beliau ini merupakan peringatan terhadap fitnah harta sekaligus salah satu bukti kenabian beliau, karena memberitakan sesuatu yang tidak terjadi di masa beliau. Segi celaan dari hadits ini adalah penyamaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap dua perkara yaitu perkara halal dan haram, jika tidak demikian, tentunya memperoleh harta dari jalan yang halal tidaklah tercela. Wallahu a’lam.”
Kenyataan pun membenarkan apa yang beliau sabdakan tadi, bukankah tidak sedikit kaum muslimin yang terfitnah dengan harta sehingga melegalkan segala cara demi mendapatkan kenikmatan duniawi yang mereka inginkan. Salah satu bukti adalah maraknya praktek ribawi yang dilakukan oleh komunitas muslim, lagi-lagi alasannya berujung pangkal pada ketamakan terhadap dunia.
permasalahan riba inilah yang akan kami bahas pada kesempatan kali ini. Hal ini mengingat betapa pentingnya masalah ini. Kaum muslimin perlu mengetahui hakikat riba serta keburukan yang terkandung di dalamnya sehingga dapat membentengi dan tidak menjerumuskan diri ke dalam berbagai transaksi ribawi.
Secara etimologi atau bahasa riba berarti tambahan, baik yang terdapat pada sesuatu atau tambahan tersebut sebagai ganti terhadap sesuatu itu, seperti menukar satu dirham dengan dua dirham. Lafadz ini juga digunakan atas segala bentuk jual beli yang diharamkan.
Sedangkan secara istilah atau terminologi, riba berarti adanya tambahan dalam suatu barang yang khusus dan istilah ini digunakan pada dua bentuk riba, yaitu riba fadl dan riba nasiah.
Adapun Maksud tambahan secara khusus ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at Islam, baik diperoleh dengan cara penjualan, atau penukaran atau peminjaman yang berkenaan dengan benda riba.”
Adapun mengenai Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba, adalah dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan qiyas.
Dalil dari Al-Qur’an, Alloh ta’ala berfirman di Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275,
Yang artinya, Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Alloh Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Alloh. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Kemudian Dalil dari As-Sunnah:
terdapat dalam hadist Riwayat Muslim yang berbunyi “Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba dan dua orang saksinya. Kedudukan mereka itu semuanya sama.”
sementara itu secara ijma’ Kaum muslimin pun telah sepakat untuk mengharamkannya dan meyakini bahwa hal tersebut termasuk dosa besar.
Di sisi lain, riba merupakan salah satu bentuk kezhaliman sedangkan keadilan yang terkandung dalam syari’at islam yang adil tentunya mengharamkan kezhaliman.
Lantas bagaimana Jika ada yang meniupkan angin syubhat dengan berkata,
“Bagaimana bisa transaksi ribawi dikatakan sebagai bentuk kezhaliman padahal mereka yang berhutang, ridha terhadap bentuk muamalah ini?”
Maka jawabannya adalah sebagai berikut:
Pertama, sesungguhnya bentuk kezhaliman dalam bentuk muamalah ribawi sangat nyata, yaitu mengambil harta milik orang lain secara batil. Karena sesungguhnya kewajiban bagi orang yang menghutangi adalah memberikan kelonggaran dan tambahan waktu bagi pihak yang berhutang tatkala kesulitan untuk melunasi hutangnya . Apabila terdapat tambahan dalam transaksi tersebut lalu diambil, maka hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan mengambil harta orang lain tanpa hak. Yang patut diperhatikan pula, bahwa seluruh hamba di bawah aturan yang telah ditetapkan Alloh, mereka tidak boleh ridha terhadap sesuatu yang tidak diridhai oleh Alloh. Oleh karenanya, ridha dari pihak yang berhutang terhadap transaksi ribawi tidak dapat dijadikan alasan untuk melegalkan praktek ribawi.
Kedua, jika ditilik lebih jauh, sebenarnya pihak yang berhutang tidak ridha terhadap transaksi tersebut sehingga statusnya layaknya orang yang tengah dipaksa, karena dirinya takut kepada pihak yang menghutangi apabila tidak menuruti dan mengikuti bentuk mu’amalah ini, mereka akan memenjarakan dan melukai dirinya atau menghalanginya dari bentuk mu’amalah yang lain. Maka secara lisan (dirinya) menyatakan ridha, namun sebenarnya dirinya tidaklah ridha, karena seorang yang berakal tentunya tidak akan ridha hutangnya dinaikkan tanpa ada manfaat yang dia peroleh.
Demikianlah sedikit bahasan kita mengenai Riba, maka sudah Selayaknya bagi seorang muslim untuk taat dan patuh tatkala Alloh dan rasul-Nya melarang manusia dari sesuatu. Bukanlah sifat seorang muslim, jika berpaling dan memilih untuk menuruti apa yang diinginkan oleh nafsunya ketika berhadapan dengan larangan Rabb-nya atau rasul-Nya .
Dan Tidak diragukan lagi bahwasanya riba memiliki bahaya yang sangat besar dan dampak yang sangat merugikan sekaligus sulit untuk dilenyapkan. Tentunya tatkala Islam memerintahkan umatnya untuk menjauhi riba pastilah disana terkandung suatu hikmah, sebab dinul Islam tidaklah memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu melainkan disana terkandung sesuatu yang dapat menghantarkannya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Demikian pula sebaliknya, bila syari’at ini melarang akan sesuatu, tentulah sesuatu tersebut mengandung kerusakan dan berbagai keburukan yang dapat menghantarkan manusia kepada kerugian di dunia dan akhirat. Wallahu’alam…..
Syari’at islam tidak memerintahkan kepada manusia kecuali pada sesuatu yang membawa kepada kebahagian dan kemuliannya didunia dan akherat dan hanya melarang dari sesuatu yang membawa kesengsaraan dan kerugian didunia dan akherat.
Demikian juga larangan riba dikarenakan memiliki implikasi buruk dan bahaya bagi manusia, diantaranya:
Berbahaya Bagi Akhlak dan Kejiwaan Manusia
Bila melihat kepada aturan dan sistem riba didapatkan hal itu menyelisihi akhlak yang luhur dan menghancurkan karekteristik pembentukan masyarakat islam. Sistem ini mencabut dari hati seseorang perasaan sayang dan rahmat terhadap saudaranya. Lihatlah kreditor atau pemilik harta senantiasa menunggu dan mencari-cari serta berharap kesusahan menimpa orang lain sehingga dapat mengambil hutang darinya. Tentunya hal ini menampakkan kekerasan tidak adanya rasa sayang dan penyembahan terhadap harta. Hingga tampak sekali Muraabi alias pemberi pinjaman ribawi seakan-akan melepas pakaian kemanusiaannya, sikap persaudaraan dan kerja sama saling tolong menolong.
Bahaya dalam Kemasyarakatan dan Sosial
Riba memiliki implikasi buruk terhadap sosial kemasyarakatan, karena masyarakat yang bermuamalah dengan riba tidak akan terjadi adanya saling bantu-membantu dan seandainya adapun karena berharap sesuatu dibaliknya sehingga kalangan orang kaya akan berlawanan dan menganiaya yang tidak punya.
Kemudian dapat menumbuhkan kedengkian dan kebencian di masing-masing individu masyarakat. Demikian juga menjadi sebab tersebarnya kejahatan dan penyakit jiwa. Hal ini disebabkan karena individu masyarakat yang bermuamalah dengan riba bermuamalah dengan sistem menang sendiri dan tidak membantu yang lainnya kecuali dengan imbalan keuntungan tertentu, sehingga kesulitan dan kesempitan orang lain menjadi kesempatan emas dan peluang bagi yang kaya untuk mengembangkan hartanya dan mengambil manfaat sesuai hitungannya. Tentunya ini akan memutus dan menghilangkan persaudaraan dan sifat gotong-royong dan menimbulkan kebencian dan permusuhan diantara mereka.
Bahaya Terhadap Perekonomian
Krisis ekonomi yang menimpa dunia saat ini salah satu sebabnya adalah adanya hutang-hutang riba yang berlipat-lipat pada banyak perusahaan besar dan kecil. Lalu banyak Negara modern mengetahui hal itu sehingga mereka membatasi persentase bunga ribawi. Namun hal itu tidak menghapus bahaya riba.
Sudah dimaklumi bahwa maslahat dunia ini tidak akan teratur dan baik kecuali –setelah izin Alloh- dengan perniagaan, keahlian, industri dan pengembangan harta dalam proyek-proyek umum yang bermanfaat, karena dengan demikian harta akan keluar dari pemiliknya dan berputar. Dengan berputarnya harta tersebut maka sejumlah umat ini dapat mengambil manfaat, sehingga terwujudlah kemakmuran. Padahal Muraabi duduk dan tidak melakukan usaha mengembangkan fungsi hartanya untuk kemanfaatan orang lain.
Riba juga menjadi sarana kolonial alias penjajahan. Telah dimaklumi bahwa perang ekonomi dibangun di atas muamalah riba. Cara pembuka yang efektif untuk penjajahan yang membuat runtuh banyak Negara timur adalah dengan riba. Ketika Pemerintah Negara timur berhutang dengan riba dan membuka pintu bagi para muraabi asing maka tidak lama kemudian dalam hitungan tahun tidak terasa kekayaan mereka telah berpindah dari tangan warga Negaranya ke tangan orang-orang asing tersebut, hingga ketika pemerintah tersebut sadar dan ingin melepas diri dan hartanya, maka orang-orang asing tersebut meminta campur tangan negaranya dengan nama menjaga hak dan kepentingannya.
Melihat bahaya dan implikasi buruk riba ini, maka sudah menjadi satu kewajiban bagi kita setelah mengetahui apa itu Riba dan bahayanya, mengenal pula jenis nya agar tidak terjerumus pada praktek–praktek muamalah ribawi tersebut.
Jenis Riba menurut Para ulama terbagi mejadi 2, yaitu:
Pertama, Riba Jahiliyah atau Riba Al Qard, maksudnya adalah pertambahan dalam hutang sebagai imbalan tempo pembayaran, baik disyaratkan ketika jatuh tempo pembayaran atau di awal tempo pembayaran. Inilah riba yang pertama kali diharamkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya disurat Al-Baqoroh ayat 275,
Artinya: “Orang-orang yang mengambil riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata dapat, Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mengambil riba, Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan; dan urusannya terserah kepada Alloh. orang yang kembali mengambil riba, Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Riba ini juga yang disabdakan Rosululloh Shallallahu ‘alahi wasallam sebagaimana terdapat dalam Hadits Riwayat Muslim, “Riba jahiliyah dihapus dan awal riba yang dihapus adalah riba Al Abas bin Abdil mutholib, maka sekarang seluruhnya dihapus.”
Demikianlah Alloh dan Rosul-Nya mengharamkannya karena berisi kezaliman dan memakan harta orang lain dengan batil, yaitu tambahan yang diambil orang yang berpiutang dari yang berhutang.
Riba pada masa jahiliyah ini memiliki beberapa bentuk aplikatif diantaranya adalah:
Bentuk Pertama: Riba pinjaman
Maksudnya adalah Riba yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyyah yaitu “Tangguhkanlah hutangku aku akan menambahnya.”
Misalnya A memiliki hutang terhadap B. Ketika tiba waktu pembayaran si A tidak mampu melunasinya. Akhirnya si A berkata: “Tangguhkanlah hutangku aku akan memberikan tambahan.” atau: perlambatlah dan tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah hutang yang akan kubayar. Adapun Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan hutang atau bila berupa binatang dengan penambahan umur binatang. Kalau yang dihutangkan adalah binatang ternak, seperti unta, sapi dan kambing, dibayar nanti dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian seterusnya.
Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan syarat harus dibayar dengan bunganya. Hutang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran.
Dalam kitab Ahkaamul Qur’aan Al-Jashash berkata: “Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama.”
Di lain kesempatan, beliau menjelaskan: “Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyyah adalah berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka Alloh menjelaskan kebatilannya dan mengharamkannya.”
Bentuk ketiga: Pinjaman Berjangka dan Berbunga dengan Syarat Dibayar Perbulan atau dewasa ini lebih dikenal dengan kredit bulanan
Dalam kitab Tafsir Ar-Raazi, Fakhruddin Ar-Razi menyatakan “riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyyah adalah kebiasaan yang sudah dikenal luas dan populer di masa jahiliyyah. Yakni bahwa mereka biasa mengeluarkan uang agar mendapatkan sejumlah uang tertentu pada setiap bulannya, sementara modalnya tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta kepada orang-orang yang berhutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah jumlah yang harus dibayar. Itulah yang disebut dengan Riba nasii-ah.”
Demikianlah mengenai satu jenis Riba yaitu Riba jahiliyah atau Riba Qord alias riba hutang dengan berbagai bentuknya,
Adapun Jenis Riba yang Kedua adalah Riba jual beli. Yaitu riba yang terdapat pada penjualan komoditi. Komoditi riba yang disebutkan dalam nash ada enam: Emas, perak, gandum, kurma, garam dan jewawut.
Nah Sahabat Blogger, rupanya sampai disini pembahasan kita.Dan nantikan ulasan kita masih mengenai riba di Artikel berikutnya, Wallahu’alam…..