Tahun ini, pemerintah Indonesia mengaku telah memblokir 300 situs yang dianggap radikal. Situs ini diyakini banyak menginspirasi tindakan radikal, terutama di kalangan muda.
"Tahun ini, kita sudah mendapatkan pengaduan sebanyak 900 yang terkait dengan situs–situs radikal. Dari situ sudah kita follow up dan 300 situs sudah kita blokir," kata Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkoinfo) , Tifatul Sembiring kepada wartawan seperti diberitakan oleh Antara.
Tifatul menambahkan bahwa tindakan pemblokiran memang lebih didasarkan pada pengaduan masyarakat karena tidak mungkin kementeriannya melakukan pengkajian atas semua situs internet yang ada.
"Di dunia ini ada lebih dari 10 miliar situs internet, tentu tidak mudah kalau kita melakukan penelusuran terhadap semua situs itu. Jadi tentu saja berdasarkan laporan dari masyarakat ataupun yang dimuat di media-media." Adapun peraturan yang digunakan dalam menentukan radikalisme adalah UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ITE.
"Yang menghasut itu 300 situs. Atau melakukan blasphemy (fitnah) atas dasar perbedaan suku, agama dan ras. Itu dilarang undang-undang dan kita bekerja berdasarkan itu," tambahnya. “Jadi yang 600 lainnya tidak terkategori sebagai situs yang menyebarkan kebencian." katanya.
Permintaan Nahdatul Ulama
Sebelumnya, Selasa 27 September, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhlatul Ulama ( PBNU) Said Aqil Siradj, mendesak agar Kemenkominfo segera menutup situs yang menyebarkan paham radikalisme.
Said Aqil Siradj berpendapat bahwa situs seperti itu bisa membelokkan ajaran agama Islam dan mempengaruhi kaum muda. "Menurut saya merupakan faktor yang antara lain, dari sekian faktor, yang menimbulkan sikap radikal bagi kaum generasi muda remaja yang tidak paham Islam."
"Jadi sebagai upaya untuk membatasilah, minimal mengurangi," tambahnya. Menurutnya kalau situs porno yang akibatnya lebih ringan dari terorisme saja di blokir, maka situs-situs radikal hendaknya ditutup." ujarnya.
Said Aqil juga merujuk pada Pino Damayanto -pelaku bom GBIS di Solo, Minggu 25 September- yang mengunjungi warung internet dan membuka situs radikal tertentu sebelum melakukan pengeboman bunuh diri. "Sebelum masuk gereja, ke internet dulu, buka–buka situs radikal dulu. Memang bukan kali itu, tapi begitu akan mau bunuh diri juga mendapatkan ideologi atau prisnip yang dia baca dari situs-situs."
Akan tetapi Menkominfo, Tifatul Sembiring menepis anggapan yang disampaikan Ketua Umum NU tersebut. "Kalau menurut saya ini bukan masalah di bidang IT saja tapi juga di bidang pemahaman agama. Itu masalah kekeliruan dalam memahami agama."