Siapa yang tidak ingin menjadi PNS? Pekerjaan mudah, memperoleh kepastian hidup karena tidak mungkin dipecat, dan kelak akan mendapatkan uang pensiun yang wah. Tidak salah jika banyak orang, baik yang sudah bekerja maupun pengangguran, mencoba peruntungan untuk mengikuti tes CPNS yang biasanya diselenggarakan menjelang akhir tahun. Buku-buku panduan tes CPNS atau soal-soal lama dipelajari demi mendapatkan posisi sebagai abdi Negara. Entah perbandingannya 1:10 atau 1:2000 sekalipun, posisi PNS senantiasa menggiurkan meski persaingannya demikian berat.
Kepastian hidup. Demikianlah yang dicari oleh kebanyakan orang. Dengan gaji yang teratur, seseorang bisa memastikan keadaannya “mapan” setelah menjadi PNS. Bahkan, posisi sebagai pegawai negeri menjadi nilai tersendiri di depan masyarakat. Ia akan lebih dihormati dan barangkali jika single, bisa menarik perhatian beberapa perempuan.
Namun, benarkah kepastian hidup tersebut sifatnya pasti? Tanpa bermaksud menyudutkan PNS, banyak orang yang ketika menjadi pegawai negeri, justru terhambat dan menghambat kreativitasnya. Ia mungkin saja akan menjalani hidup yang mapan. Namun, jika seseorang menilai hidup dari kualitas, barangkali kualitas tersebut tidak bisa terkejar. Yang dimaksud dengan kualitas hidup, misalnya pada usia 40 tahun seseorang sudah mampu menjadi pemimpin banyak orang; atau mengerjakan pekerjaan yang benar-benar disukainya (bukan yang diinginkannya atau dibutuhkannya demi sesuap nasi). Orang yang menjadi PNS (dan pekerja swasta) tentu akan sulit mencapai kualitas ini. Sebaliknya, orang yang dianggap nekat, misalnya seniman atau wiraswasta, meskipun mungkin tidak semapan PNS (penghasilannya bergantung pada omzet) bisa memiliki kualitas hidup tersebut.
Ada yang berpendapat bahwa manusia terlahir dengan mentalitas budak. Maka, bekerja apa pun, entah itu karyawan swasta maupun PNS yang berembel-embel abdi negara, dalam bahasa kasar, mereka tetap menjadi “budak”. Tentu kita tidak seekstrem itu dalam menilai PNS. Yang perlu diperhatikan adalah “mentalitas budak” atau mentalitas orang yang hanya bisa berjalan ketika disuruh. Menjadi pekerja di bawah sebuah kekuasaan, kadang menumpulkan jiwa kepemimpinan kita. Akibatnya, kita cenderung hanya bisa beropini seperti orang kebanyakan atau dalam bahasa ekstrem, membeo atas segala hal yang diberitakan atau yang menjadi trend; tidak bisa menjadi diri sendiri.
Di sisi lain, menjadi PNS juga berarti memiliki kekuasaan lebih. Karena PNS dianggap memiliki tuah tertentu, seseorang yang menjadi pegawai negeri, kadang merasa dirinya adalah “sesuatu” (tentu tidak semua orang demikian). Ia kemudian meninggikan diri dibandingkan orang lain. Tentu rasanya tidak sedap saja jika kita mesti berhadapan dengan seseorang yang bertingkah seolah ia memiliki segalanya di dunia. PNS yang berada dalam tugas pelayanan publik kadang secara tidak sadar bertindak demikian. Seorang pemohon pelayanan publik pasti sekali dua kali pernah menggigit jari atau geleng-geleng kepala dengan perilaku “sok kuasa” oknum PNS tertentu.
Maka, menjadi PNS akan menjadi dilema bagi orang yang mencari kualitas hidup atau orang yang jiwanya terbiasa bebas berkeliaran dan mengambil risiko-risiko mengerikan dalam hidupnya. Orang-orang seperti ini, akan merasa bagai dikebiri, berada di penjara yang pintunya terbuat dari kayu dan memiliki penyejuk udara. Namun, bagi orang yang ingin menjalani hidup dengan nyaman dan aman, menjadi PNS adalah sebuah kebutuhan; dan mereka akan berani bersaing dengan puluhan ribu orang yang berpendapat sama. Tak apalah tidak mendapatkan kualitas hidup karena kualitas yang lain sudah terpenuhi. Nah, Anda berada di posisi yang mana?