Sebuah dongeng kadang digunakan untuk menyampaikan sesuatu yang sifatnya “rahasia” atau “unik”. Misalnya, Dongeng Itik Buruk Rupa sebenarnya bukanlah cerita perjuangan yang penuh pesan moral. Justru, kisah ini menyimpan ajaran perjuangan ruh manusia selama berada di dunia. Di sisi lain, mungkin pula dongeng digunakan untuk menyampaikan peristiwa yang sudah “kadaluwarsa” agar pendengarnya pada masa kini, mampu menjangkau peristiwa tersebut. Misalnya, dongeng yang menyelimuti Danau Toba.
Sekilas, dongeng Danau Toba sangat simpel. Dikisahkan, ada seorang petani yang bernama Toba. Suatu hari, ketika ia sedang memancing selepas berladang, ia mendapatkan seekor ikan.
Rencananya, ikan tersebut hendak dipanggangnya. Namun, secara ajaib, ikan tadi berubah menjadi perempuan cantik. Toba lupa akan keinginannya memakan ikan. Ia justru jatuh cinta pada si gadis cantik jelmaan ikan.
Sang gadis mau menikah dengan Toba dengan sebuah syarat: Toba tidak boleh mengungkit masa lalunya sampai kapan pun. Toba yang tergila-gila pada sang gadis, tidak mengambil pikiran panjang dan segera menyanggupi.
Selang beberapa tahun kemudian, dari pernikahan keduanya, lahir seorang anak bernama Samosir.
Suatu ketika, Samosir diminta sang ibu untuk mengantar makanan kepada ayahnya yang bekerja di ladang. Namun, Samosir justru memakannya. Sang ayah yang kelaparan, menyaksikan bekal makan kosong, tak kuasa lagi menahan kemarahannya. Ia berteriak memaki, “Dasar anak ikan!”
Ucapan sang ayah ini menghancurkan hati Samosir. Ia berlari ke rumah dan mempertanyakan kebenaran ucapan ayahnya. Sang ibu, tentu saja berang karena Toba telah melanggar janji. Dimintanya Samosir untuk segera mendaki bukit. Sementara, sang ibu kembali ke sungai.
Ajaib, dalam sekejap, banjir bandang mengantam wilayah tersebut. Banjir itu menyeret Toba dan sekarang menjadi Danau Toba. Sementara, wilayah yang menjadi tempat Samosir selamat, disebut sebagai Pulau Samosir.
Menarik jika kita menghubungkan dongeng sederhana ini dengan fakta di lapangan. Bahwa, 74.000 tahun lalu, Danau Toba yang merupakan danau vulkanik, pernah meletus begitu dahsyat dan menyebabkan perubahan iklim yang sangat
drastis di muka bumi. Bahkan, Danau Toba diklaim sebagai penyebab zaman es.
Jika kita menghubungkan fakta ini dengan kisah di atas, terlihat bahwa dongeng Danau Toba ternyata kemungkinan
menyimpan fakta tersebut. Dalam hal ini, dongeng tadi cuma sebagai kiasan atas meletusnya Danau Toba. Misalnya, Samosir melambangkan daratan yang bergerak meninggi, menjadi pulau akibat dorongan ekstrim Danau Toba. Ibu Samosir, ikan, melambangkan perairan dnau yang kelak menjadi Danau Toba. Sementara, Toba mungkin saja diartikan sebagai wilayah daratan yang hancur atau tenggelam ke danau baru yang lebih luas. Sementara, banjir bandang yang
melanda wilayah tersebut adalah banjir yang tercipta akibat ledakan danau vulkanik. Namun, yang paling menarik, jika kemungkinan ini benar, kita bisa membayangkan bahwa kisah ini dihasilkan oleh orang-orang yang mungkin selamat dari peristiwa tersebut 74.000 tahun lalu. Atau, kalau tidak, generasi kemudian yang mengetahui peristiwa danau yang meletus tersebut.
Bukan hanya dongeng Danau Toba saja yang menyimpan peristiwa geologi. Dalam Novel Bilangan Fu (2008) karya Ayu Utami, dipaparkan bahwa kisah Tangkuban Perahu sama sekali bukan hanya tentang hubungan percintaan antara Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Dalam kisah ini, Dayang Sumbi meminta Sangkuriang untuk membuat danau. Sangkuriang berhasil membuatnya. Namun, permintaan Dayang Sumbi yang lain, membuat kapal, gagal dilaksanakan karena Dayang Sumbi berbuat curang dengan menciptakan fajar pagi tipuan. Sangkuriang yang marah, membalikkan perahunya dan menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Masalahnya, tidak ada prasasti dan sumber sejarah lain yang menyebutkan pernah ada danau besar (buatan Sangkuriang) di wilayah Bandung.
Yang menarik, berdasarkan “catatan” bumi, memang pernah ada danau raksasa di Bandung sekitar 160 hingga 16 ribu tahun lalu. Danau tersebut kemungkinan tercipta dengan cepat (seperti halnya dalam dongeng Sangkuriang yang cuma semalam) karena ledakan gunung berapi. Gunung itu sendiri, hancur sedemikian rupa. Selanjutnya, muncul anak gunung berbentuk perahu telungkup, yang kelak menyebabkan anak gunung ini disebut Tangkuban Perahu.
Uniknya, dalam buku yang sama, juga dijelaskan bahwa Danau Bandung, demikian nama danau “buatan” gunung berapi tadi, terakhir kali ada sekitar 16 ribu tahun lalu. Kira-kira, sekitar 16 ribu tahun pula sudah tidak ada lagi orang yang bisa menyaksikan Danau Bandung. Jika kita menggunakan logika, artinya, kisah Sangkuriang sudah diceritakan dari mulut ke mulut sekitar 16 ribu hingga 160 ribu tahun lalu.
Dengan mengamati dongeng Samosir Si Anak Ikan dan Sangkuriang, setidaknya kita mampu mempelajari bahwa dongeng bukanlah semata bacaan pengantar tidur. Sebaliknya, terdapat “rahasia tersembunyi” yang sangat menarik jika mampu diolah; menguak perjalanan bumi dari waktu ke waktu yang mungkin sudah tidak kita kenali lagi.